Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan. Kartini bukan hanya simbol kebangkitan perempuan dari ketertinggalan, tetapi juga lambang keberanian untuk bermimpi besar dan berjuang demi masa depan yang lebih cerah. Semangat inilah yang tercermin dalam kehidupan para santri, khususnya santri putri di Pondok Pesantren Nurul Hakim.
Kartini dan Pendidikan: Pondasi Perubahan
Kartini sangat meyakini bahwa pendidikan adalah kunci utama perubahan. Dalam surat-suratnya, ia menuliskan harapan agar perempuan Indonesia bisa memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Nilai inilah yang sejalan dengan visi pendidikan di pesantren-pesantren, termasuk Nurul Hakim, yang memberikan ruang bagi santri putri untuk menimba ilmu agama dan umum sekaligus.
Di Pondok Pesantren Nurul Hakim, pendidikan bukan hanya sekadar transfer ilmu, melainkan proses membentuk karakter, kepemimpinan, dan tanggung jawab sosial. Santri putri dibimbing untuk menjadi pribadi yang mandiri, berpikir kritis, serta mampu menjadi agen perubahan di masyarakat. Ini adalah sebuah peran yang dulu juga diperjuangkan oleh Kartini.
Peran Santri Nurul Hakim: Kartini Zaman Kini
Santri putri Nurul Hakim adalah representasi Kartini masa kini. Mereka aktif dalam berbagai kegiatan keilmuan, sosial, dan dakwah. Dari halaqah, diskusi kitab kuning, hingga pengabdian masyarakat, mereka menunjukkan bahwa perempuan muslimah mampu hadir di tengah masyarakat dengan ilmu, akhlak, dan integritas.
Beberapa peran santri putri yang menunjukkan semangat Kartini antara lain:
Penggerak Literasi Pesantren: Banyak santri yang aktif menulis di buletin, majalah pesantren, bahkan mengembangkan konten digital Islami.
Pendidikan Anak Usia Dini: Saat masa ijazah (libur) sebagian santri menjadi pengajar TPA dan PAUD di sekitar lingkungan nya.
Daiyah Muda: Dengan bimbingan ustadzah dan para kyai, santri putri dilatih menjadi penceramah, terutama untuk kalangan ibu-ibu dan remaja putri.
Wirausaha Santri: Beberapa unit usaha kecil yang dikelola santri juga menunjukkan jiwa kemandirian dan kreativitas mereka.
Mengusung Nilai-nilai Kartini dalam Bingkai Keislaman
Kartini sendiri adalah sosok yang religius dan berpikiran terbuka. Ia pernah menulis bahwa agama Islam sejatinya sangat menjunjung tinggi martabat perempuan. Inilah yang menjadi semangat Pondok Pesantren Nurul Hakim dalam mendidik para santri putri: agar mereka mampu memahami dan menjalankan ajaran Islam secara kaffah sekaligus tampil percaya diri di ruang publik.
Perempuan dalam Islam memiliki peran penting sebagai pendidik generasi, penjaga moral keluarga, bahkan sebagai pemimpin di tengah masyarakat. Para santri Nurul Hakim, sebagai calon ibu dan calon pemimpin, terus ditempa agar menjadi perempuan tangguh seperti Kartini, namun tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam.
R.A. Kartini memperjuangkan hak perempuan untuk belajar dan berperan di tengah masyarakat. Kini, lebih dari seabad kemudian, semangat itu hidup kembali dalam diri santri putri Pondok Pesantren Nurul Hakim.
Di lingkungan pesantren, perempuan tak hanya dididik menjadi pribadi yang shalehah, tapi juga mandiri dan berpikiran terbuka. Mereka belajar kitab kuning, mengasah jiwa kepemimpinan, dan menjadi pelayan umat lewat dakwah, pendidikan anak-anak, hingga kegiatan sosial.
Pondok Nurul Hakim percaya bahwa perempuan berilmu adalah cahaya peradaban. Maka, para santri putri adalah Kartini masa kini: membawa lentera ilmu dan akhlak ke tengah masyarakat.
“Agama harus menjadi penerang dalam perjuangan perempuan, bukan penghalang,” – semangat Kartini, yang kini diteruskan oleh santri Nurul Hakim.